Sabtu, 14 Juli 2012


SMK Negeri 29 Jakarta: Mencetak Kampiun Montir Pesawat

Mereka belajar soal dunia penerbangan. Pengajarnya tentara dan para ahli. Kerjasama melahirkan basic licence. Mengejar sertifikasi internasional.
LETNAN Satu Gunadi membuka sebuah buku tebal. Isinya pelajaran Gas Turbine Engine. Hari itu anggota TNI Angkatan Udara (TNI-AU) dari Skuadron Teknik 021 duduk di depan sebuah ruangan yang dipenuhi banyak mesin pesawat udara. Dengan suara lantang, sang Letnan Mekanik ini menjelaskan fungsi dari tiap bagian-bagian mesin pesawat jenis turbo jet. Sementara itu, 25 orang pemuda berseragam biru-biru duduk rapi dan penuh konsentrasi mendengarkan semua penjelasan sang letnan.
Tak hanya Letnan Satu Gunadi yang anggota TNI-AU yang senantiasa hadir memberi materi pelajaran di ruang-ruang kelas SMK Negeri 29 Jakarta. Sekolah yang dulu bernama Sekolah Teknologi Menengah (STM) Penerbangan ini memang menggunakan tenaga pengajar dari para praktisi dunia penerbangan, seperti TNI AU dan PT Garuda Indonesia. Yang dari TNI-AU ada tiga orang. Sementara dari Garuda Indonesia ada 10 pengajar.
Keberadaan pengajar dari kalangan praktisi penerbangan itu berkat kerjasama sekolah dengan PT Garuda Maintenance Facility yang diteken pada 1998. Hal ini merupakan kelanjutan kesepakatan sebelumnya, antara Dirjen Dikmenti, Dirjen Perhubungan Udara, dan Garuda Maintenance tentang peningkatan kualitas sekolah menengah penerbangan. Terobosan ini dilakukan dalam rangka menjadikan SMK Negeri 29 sebagai Approve School, yaitu sekolah yang melaksanakan pendidikan dan evaluasi, serta lulusannya dapat diakui di dunia penerbangan.
Melalui kerjasama itu, guru-guru yang terpilih bisa mengikuti pendidikan di Garuda Maintenance selama setahun. Pada 1998, terpilih lima guru belajar di sana, bersama guru dari STM Penerbangan Bandung. Mereka ini kini mengantongi basic licence.
Sertifikat basic licence dikeluarkan Departemen Perhubungan untuk tenaga yang memenuhi syarat bekerja sebagai teknisi perawatan pesawat udara di mana pun, dalam dan luar negeri. Mereka yang mengantungi sertifikat ini juga bisa mengajar di maskapai penerbangan mana pun di dunia.
Walau menjadi syarat mutlak untuk menjadi teknisi pesawat terbang dan berlaku di seluruh dunia, namun di maskapai penerbangan Indonesia basic licence ini belum sepenuhnya bisa dilakukan. Alasannya, sekolah-sekolah penerbangan belum mampu melakukan itu. Guru-gurunya saja masih banyak yang belum memiliki, apalagi siswanya. Akhirnya yang terjadi kemudian para teknisi di maskapai penerbangan domestik disekolahkan kembali untuk mendapatkan basic licence.
Drs Asep Gunawan adalah salah seorang guru yang menggenggam lisensi itu. Ia mengajar Sistem Pesawat Terbang di jurusan Air Frame & Power Plane (Motor dan Rangka Pesawat Terbang). Walau bisa mengajar di mana pun, Asep tak tergiur pindah. “Saya mendapatkannya karena dibiayai sekolah. Karena itu saya ingin mengaplikasikan ilmu untuk memajukan sekolah dan mendorong siswa bisa meraih basic licence setelah lulus,” kata pria lulusan Fakultas Teknik IKIP Bandung ini.
Sertifikat basic licence itu sendiri menjadi salah satu bagian dari aturan dalam CASR (Civil Aviation Safety Regulations) nomor 4147. CASR juga mensyaratkan sekolah penerbangan harus memiliki sarana dan prasarana lengkap. Yakni laboratorium, bengkel, perpustakaan, dan hanggar plus pesawat terbang masih lengkap instrumen dan avioniknya serta mesin masih berfungsi.
JUMLAH MURID DIATUR
CASR 4147 juga membatasi jumlah murid per kelas. Sebagai approve school, tiap kelas sekolah penerbangan di Amerika hanya diisi 24 siswa. Sedangkan di Eropa, tiap kelasnya sampai 28 orang. Jumlah instruktur praktikum juga dibatasi satu orang untuk enam siswa. Tapi Indonesia belum menentukan batas jumlah murid per kelas di sekolah penerbangan.
SMK 29 boleh berbangga karena telah memenuhi syarat-syarat CASR 4147. Sekolah ini memiliki lima ruang bengkel, dengan peralatan lengkap. Ada bengkel umum, system, airframe, engine, dan workshop CNC (Computer Numerical Control).
Optimalisasi penggunaan hanggar dan pesawat terbang terus dilakukan. Pesawat Hercules jenis piston engine yang dimiliki sekolah dirasa tidak memadai. Instrumen dan kelengkapan avionik kurang lengkap. Untuk mengatasi hal itu, pihak sekolah tengah mempelajari tawaran dari Garuda untuk membeli sebuah pesawat Boeing 737-200. “Rencananya tahun depan kami akan membeli pesawat baru,” kata Drs Rusnan Saragih, Ketua Pengembangan SMK Negeri 29, yang juga pengajar Gas Turbine Engine.
Selain kekurangan itu, jumlah instruktur praktikum di sana juga belum memenuhi standar. Satu kelas dengan 30 siswa, saat ini hanya dibimbing satu guru. Saat ini sekolah telah menjalin kerjasama dengan sejumlah institusi untuk studi para guru.
SERAGAM KEBESARAN
Kebanggaan juga membusung di dada siswa karena seragam yang mereka kenakan tak jauh berbeda dengan yang dipakai TNI AU. Baju dan celana seragam berwarna biru persis seragam harian TNI AU. Ada tanda kepangkatan di bahu yang menunjukkan tingkat kelas. Siswa kelas tiga mengenakan tiga strip balok, seperti pangkat kapten. Sedangkan kelas dua hanya dua strip balok dan kelas satu hanya satu strip.
Di sisi kiri lengan terpasang logo sekolah bergambar propeller (baling-baling pesawat terbang). Di dada sebelah kiri menempel wing, sebagai ciri khas dunia penerbangan. Sementara di dada kiri melekat nametag siswa.
Seragam model tentara itu baru dikenakan siswa SMK 29 sejak 2003 lalu. Bila Anda berkunjung ke sana, suasanannya tak ubahnya berada di lingkungan TNI Angkatan Udara. Sebelum 2000, siswa memakai seragam putih abu, sama dengan seragam siswa SMA. Perbedaan itu memberi ciri khas sekolah penerbangan.
“Saya bangga memakainya. Kalau di jalanan sering dilihatin orang. Disangka Angkatan Udara barangkali,” kata Riyan Hidayatullah, siswa kelas 2 jurusan Airframe and Powerplane.
KELAS UNGGULAN
SMK Negeri 29 membuka empat jurusan bidang studi perawatan pesawat terbang. Ada jurusan Airframe and Powerplane, Electrical Aviation Instrumen, Elektronika Komunikasi, dan Teknik Pendingin dan Tata Udara. Tiap tahun ajaran baru, jurusan Airframe & Powerplane membuka empat kelas, Electrical Aviation Instrumen membuka 3 kelas, serta masing-masing satu kelas Elektronika Komunikasi dan kelas Teknik Pendingin dan Tata Udara.
Selain kelas reguler itu, SMK Negeri 29 juga membuka kelas unggulan yang diisi 25 siswa jempolan. Setiap jurusan mempunyai satu kelas unggulan. Mereka yang bisa masuk kelas unggulan adalah siswa yang telah naik tingkat dari kelas satu. Syaratnya jelas, nilainya harus tinggi.
Jika di kelas unggulan, ada siswa yang penurunan prestasinay, atau tidak sanggup mengikuti pembelajaran mereka akan dikembalikan ke kelas reguler. Sebaliknya, siswa kelas reguler yang menunjukkan prestasi bagus, bisa menggantikan “naik level” ke kelas unggulan.
Murid-murid kelas unggulan itu, kata Rusnan Saragih, dipersiapkan untuk memenuhi permintaan tenaga kerja bagus di perusahaan penerbangan. Maklum, jumlah maskapai penerbangan saat ini semakin banyak. “Tahun ini kami mendapat tawaran dari beberapa maskapai penerbangan untuk mengirim lulusan berprestasi,” kata Saragih, guru yang telah mengajar di SMK Negeri 29 sejak 1984.
Penerimaan siswa baru SMK Negeri 29 menggunakan sistem Real Time Online, sesuai standar nasional. Artinya, sekolah tinggal menerima siswa-siswa yang terseleksi secara otomatis via jaringan internet di jalur PSB On-Line. Melalui situs PSB Online ini, masyarakat akan mendapatkan informasi secara up to date proses pelaksanaan penerimaan siswa baru secara transparan dan kompetitif. Selain itu, masyarakat juga dapat memantau proses penerimaan siswa baru mulai dari data pendaftaran, proses perankingan, dan urutan penerimaan siswa setiap waktu.
KURIKULUM ISTIMEWA
Soal kurikulum, materi pelajarannya berdasar kurikulum khusus yang disusun Garuda Indonesia, yang disesuaikan kebutuhan perusahaan penerbangan. Kerjasama menyusun kurikulum ini sejak dua tahun lalu.
Secara teknis, kedua belah pihak mengirim tim kurikulum yang terdiri masing-masing lima orang. Tim perumus kurikulum bertugas menentukan pelajaran-pelajaran apa saja yang perlu diajarkan, menentukan alokasi waktu untuk tiap mata pelajaran, dan menentukan standar kompetensi yang harus dimiliki siswa. Semuanya dikondisikan dengan kebutuhan maskapai penerbangan.
Sebagai contoh, untuk mendapatkan basic licence, dalam CASR 4147 disebutkan bahwa siswa harus mengantongi sebanyak 3.000 jam pelajaran plus praktik. Dalam aturan CASR satu jam adalah 60 menit, sedangkan pada pembelajaran di sekolah umum satu jam adalah 45 menit. Maka, untuk menyiasati agar setelah lulus siswa bisa mendapat basic licence, dibuatlah kurikulum tersebut.
Kerjasama antara SMK 29 dengan Garuda Maintenance itu tentunya menguntungkan kedua pihak. Garuda sebagai perusahaan yang merekrut para lulusan tidak perlu menyekolahkan kembali. Mereka akan memakai tenaga kerja siap pakai yang sudah bersertifikasi. Lulusan SMK 29 tak repot-repot mencari pekerjaan.
“Saya yakin setelah lulus, saya bisa mendapatkan pekerjaan sesuai. Materi yang diajarkan sekolah juga sudah sangat memadai,” ujar Jeppy Hidayat, siswa kelas 2 jurusan Airframe and Powerplane.
Selain bekerjasama di bidang pengadaan instruktur dan penyusunan kurikulum, SMK Negeri 29 juga bekerjasama di bidang pelatihan siswa. Program Praktik Kerja Lapangan rutin diadakan setiap tahun. Praktik Kerja ini selalu melibatkan maskapai penerbangan, juga pihak Angkatan Udara, tepatnya di Skuadron Teknik 021 Halim Perdanakusuma.
Siswa diwajibkan mengikuti praktik pada semester II di kelas 2. Sekolah memfasilitasi siswa dengan mengirim mereka ke tempat sesuai. Biasanya, sekolah memilih tempat praktik yang tidak terlalu jauh dari tempat tinggal mereka.
SMK Negeri 29 bersama sekolah-sekolah penerbangan lain di Indonesia telah mendirikan Forum Komunikasi Sekolah Penerbangan se-Indonesia. Organisasi ini baru dibentuk bulan Februari tahun 2006, diketuai oleh Ir. Saragih, Guru SMKN 29 Jakarta. Saat ini sudah beberapa sekolah yang bergabung, misalnya dari Jawa Barat, Yogyakarta, Jawa Timur, Jakarta, Medan, Makasar, Padang, dan Jambi.
BERMULA DARI HANGGAR
Siapa sangka bermula dari ruang hanggar pesawat udara Kemayoran, Jakarta kemudian tumbuh menjadi sekolah megah. Tepatnya Agustus 1954 berdirilah STM Penerbangan, cikal bakal SMK 29. Lokasi belajar mengajar kemudian berpindah. Pada 1958 STM Penerbangan boyongan ke Jalan Prof Djoko Sutono SH Nomor 1 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Di lokasi baru ini, STM Penerbangan berdiri di lahan seluas 20.980 m2. Sekolah ini menjadi satu-satunya SMK Negeri Kelompok Teknologi Industri Udara di Jakarta Selatan. Sekolah ini juga satu-satunya yang khusus bergerak di bidang Teknologi Pesawat Udara di Jakarta. Pada 1996 STM Penerbangan ini bersalin nama menjadi SMK Negeri 29, sampai sekarang.
Tahun ini SMK Negeri 29 baru saja merehabilitasi gedung-gedung. Hasilnya, bangunan bertingkat tiga seluas 2.000 meter persegi berdiri mentereng. Bangunan baru itu digunakan sebagai ruang kelas dan kantor guru. Total dana rehabilitasi gedung sebesar Rp 2,2 miliar dan sepenuhnya dibiayai Pemerintah DKI Jakarta.
Tahun depan mereka akan merenovasi berbagai fasilitas bengkel dan lapangan. Saat ini ada 22 ruang: lima ruang bengkel (workshop), perpustakaan, lapangan upacara, hanggar pesawat terbang, ruang gambar, ruang guru, ruang kepala sekolah, kantin, ruang OSIS, mushola, telepon umum, dan satu gedung bulu tangkis yang terdiri dari tiga lapangan.
Oleh: Yudi Iswanto

Tidak ada komentar:

Posting Komentar